Sabtu, 21 Februari 2015

Izinkanku Berkelana...

Seseorang pernah melontarkan pernyataan pada Santiago, si anak gembala pada kisah Sang Alkemis “Dia tidak punya uang untuk melanglang” ya, kurang lebih seperti itulah kalimat pada buku bestseller tersebut. Kalimat itu pulalah yang mewakili saya. Saya tak punya uang untuk melakukan perjalanan wisata, melancong ke negeri yang jauh dari tanah kelahiran. Jangan sebut negara-negara nun jauh itu, kota atau bahkan kabupaten dalam negeri pun sepertinya masih banyak yang belum saya jamah.
Nafasku tersengal ketika uang disebut-sebut di dalamnya. Faktor paling umum sekaligus penting. Cukup kenyanglah saya menghitung biaya perjalanan ditambah itinerary untuk teman-teman yang hendak melancong model standard ala orang Indonesia seperti keliling Jawa-Bali atau Malaysia-Singapura-Thailand. Atau yang lebih jauh seperti trip ke Korea, Jepang, Australia, atau India. Tujuan bagi para kaum mampu negeri ini.
Ketidakmampuan segi finansialku demi berwisata dibantah dengan dewa keberuntungan yang menghampiriku, berupa sponsor atau hadiah. Mereka-mereka itulah yang membawa saya mampu menginjak beberapa kota seberang pulau kampung halaman. Kegiatan melancong gratis itu dimulai ketika saya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Sebuah berita mengejutkan datang di sore hari. Sebuah surat elektronik datang dari sebuah provider yang mendominasi warna hijau-kuning itu. Mendadak dan tak disangka. Sibuklah saya mengurus segala yang perlu, mulai dari berkeliling warnet yg punya printer, kala itu masih jarang di daerah rumah saya. Setelah mengisi form dan surat-surat lainnya, cobaan lagi, mama bapak saya sedang tidak rumah kala itu, padahal saya butuh tandatangannya untuk form perizinan orangtua, saya galau, jadinya saya menyuruh tante saya untuk menandatangani form itu. Lalu, kembali keliling warnet dengan ojek juga becak untuk mencari warnet yg punya alat scanner. Keliling-keliling sampai hampir menyerah, untungnya dapat juga. Benar-benar perjuangan. Sampai titik itu, belum ada yang tahu bahwa saya akan berangkat.
Dua hari kemudian, berangkatlah saya. Baru di bandara saya menelfon teman di sekolah untuk meneruskan izin saya ke wali kelas. Padahal sedang ada mid-test pada saat itu. Saya tetap berangkat. Saya diantar oleh mama dan bapak saya, ketika memasuki dalam bandara, di depan meja konter check-in saya masih sempat melihat mama saya diluar melalui kaca bening. Sambil dadah-dadah, saya membalasnya dengan beberapa tetesan airmata haru, kenapa perjalanan pertamaku dengan si burung besi harus sendirian tanpa mereka-mereka yang kusayang?
Pukul sebelas pagi, tibalah saya di Denpasar. Bertemu dengan orang-orang sponsor juga teman-teman senasib baik yg berasal dari berbagai kota di Indonesia. Yang hingga kini beberapa dari kami masih saling menjaga komunikasi. Sepulang dari Bali, saya menyabet gelar sebagai duta “Miss Social Media” katanya, karena saya paling aktif di jejaring facebook dan twitter, yang pada saat itu, masih sangat sedikit user, terutama twitter.
Di kesempatan pertama melancong ke pulau seberang itu saya benar-benar tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Mulai dari tiket pesawat dan airport tax, akomodasi hotel serta makan selama disana, dan uang jajan yang melebihi dari cukup.
Kejadian serupa terjadi pula setelah
Pertengahan 2011, atas keisengan dan kuasa Tuhan. Dengan tanpa kongkalikong alias usaha sendiri, saya terpilih mewakili kota saya untuk menghadiri konser band indie rock international yang diadakan di Jakarta. Di ibukota itu, lagi, selama tiga hari dua malam, semua biaya ditanggung sponsor. Bedanya, dari kota saya kesana, saya bersama seorang karyawan dari si sponsor itu, tugasnya ngedampingin dan memenuhi segala keperluan saya. Meski kenyataannya saya lebih asyik jalan sendiri dan nggak terlalu menggunakan tenaga dan tugasnya sebagaimana mesti. Sebuah pengalaman unik bisa menjadi reposrter dadakan, menelusuri backstage para artis-artis lokal maupun luar negeri. Lunch, foto-foto ekslusif, dan ngobrol bareng. Wuiiih. kapan lagi ya? Hehehe.
Hanya dua itu perjalanan ‘Full Free’ yang pernah saya dapatkan, itupun sudah teramat syukur saya. Perjalanan selanjutnya. Ke Jakarta lagi, tambahan ke Bandung. Lalu yang paling gress adalah pengalaman ke Luar Negeri, berhasilnya saya ke tempat itu adalah hasil dari perburuan tiket promo yang selanjutnya diiringi dengan tebengan nginap di apartemen temannya teman. Saya hanya habis di ongkos jajan aja. Ini bisa dibilang pengalaman backpacking pertama saya. kembali, saya dibuat kesemsem mengingatnya. Semoga akan ada trip-trip selanjutnya, yang semoga bisa lebih jauh dan mengesankan lagi.
Tak kalah mengesankan, sekitar akhir 2013. sebuah perjalanan nekat dan tiba-tiba juga nih, saya berkunjung ke Pantai Bira, yang lumayan terkenal itu bersama sahabat saya. Wisata alam Provinsi saya itu memang wajar saya banggakan. Karena memang bagus.
Kemudian, sebulan yang lalu. Lagi, saya kepanggil ke pulau dewata. Kali ini untuk menghadiri rapat kerja yang diam-diam melibatkan saya. Perjalanan ekslusif banget, dari pagi ke malam harus mengikuti itin dari travel agent. Nggak beda jauh dengan perjalanan pertama saya ke Bali beberapa tahun lalu.
Awal Februari kemarin, ada ajakan teman untuk nganter pengantin ke luar daerah, tepatnya di Pinrang. Lumayan sekedar liburan singkat sehari. Sempat ke rumah teman dan ngaso di cafe D’Carlos menikmati live music dan wisata kuliner disana.
Dan belum ada lagi kisah melancongku hingga saat ini. Sejujurnya, saya tidak pernah betul-betul mengeksplor keseluruhan tempat-tempat itu, dengan beragam alasan pastinya. ketika pulang, saya selalu merasa kurang puas. Inilah hakikat manusia yang tak terpuaskan.
Saya masih dan terus mendamba untuk keluar jauh melihat sisi dunia lainnya yang teramat luas ini. Saya ingin berada di tengah keriuhan mega festival di Rio De Jeneiro, ingin takjub melihat aurora di langit Irlandia, ingin merasakan menjadi New Yorker untuk beberapa saat, ingin melihat langsung barak-barak dan peninggalan pemimpin bengis di Jerman, ingin merasakan udara segar Maachu Pichu, ingin melihat pembuatan coklat di Belgia, ingin merasakan bekerja jadi pemetik daun di Golden Triangel, ingin menjadi pekerja berpegangan WVH Australia, ingin menaiki menara Buruj Khalifa Turki, ingin melihat padang pasir Sahara di Afrika, ingin melihat langsung Piramida di negara asalnya Mesir, ingin terkena air hempasan air terjun Niagara, ingin berada dalam pelukan salju Everest, ingin menjelajah alam New Zealand, ingin berjemur di laut Maldives, ingin menyusuri daratan luas Moskow, ingin melintasi trans Siberia, ingin lihat-lihat red-district di Amsterdam, ingin nonton pertandingan sepakbola di Spanyol, ingin dalam keramaian tribun lapangan Old Trafford Inggris, ingin menelisik dalam gurun-gurun Afrika. Daaaaaan segunung keinginan-keinginan lain yang buncah, berdesakan, dan meluap-luap dalam nadiku. Aku tahu, duniaMu terlampau luas untuk disapa satu per satu seluruhnya, tapi izinkanlah saya menginjakkan kaki walau hanya di beberapa bagiannya saja.
Tuhan, jamah dan kabulkan keingin-keinginanku itu ya Rabb. Datangkan dewa-dewi keberuntungan itu lagi ya Allah. Amin.